đ± Ushul Dan Furu Dalam Aqidah
Perbedaanini muncul akibat perbedaan dalam membangun teori ushul fiqh, yang masing-masing digunakan dalam menggali hukum Islam. Ada aliran yang mengkaji ushul fiqh secara teoritis tanpa terpengaruh dengan masalah-masalah furuâ. Namun banyak imam-imam yang tidak sependapat dengan hal ini sehingga terjadilah penafsiran yang berbeda dengan
mutaghayyiratini terdiri dari hukum-hukum yang bersifat ijtihadi dalam pelbagai bidang fiqh dan ia boleh dikembangkan lagi oleh para fuqaha Islam. Dalam ungkapan lain, syariat Islam bersifat tetap pada perkara-perkara usul dan bersifat fleksibel (murunah) pada perkara-perkara furuâ yang banyak melibatkan persoalan-persoalan semasa dalam
PeranAl-Ghazali dalam Mengembangkan Keilmuan Ushul Fiqh. Mazhab Syafiâi merupakan mazhab yang menuliskan ushul mazhabnya dalam sebuah kitab, oleh Imam As-Syafiâi dalam kitabnya Ar-Risalah yang berisi kaidah-kaidah ushul fiqih. Lewat bukunya ini, As-SyafiâI dikenal sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqih dan orang yang pertama menuliskan
Hukumhukum syarâiah diantaranya ada yang bersinggungan dengan aqidah atau ushul, juga ada yang berkaitan dengan furuâ atau cabang. Dalam masalah aqidah seperti maârifatullah, tauhid, dalil-dalil bukti kenabian dan rukun islam, adalah sesuatu yang qathâi, menurut jumhur dalam hal ini tidak boleh taqlid, dalilnya ialah : a) Kewajiban
FIQHDAN USHUL FIQH PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN HUKUM SYARAâ Dosen pengampu :Nunung Susfita M.SI Disusun oleh : Kelompok V M.Turmuzi Ramdhani (180202090) Rosalia Madani Putri (180202082) PROGRAM STUDI AHWAL AS SYAHKSIYYAH FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM 2018 1 KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah swt
1 Lima kaidah dasar yang mempunyai skala cakupan menyeluruh, lima kaidah. ini memiliki ruang lingkup Furiiyyah yang sangat luas, komprehensif, dan. unversal, sehingga hampir menyentuh semua elemen hukum fiqih. f2. Kaidah-kaidah yang
Sebabâ Sebab Terjadinya Ikhtilaf. Dapat disimpulkan dan dikelompokkan kedalam empat sebab utama: Perbedaan pendapat tentang valid â tidaknya suatu teks dalil syarâi tertentu sebagai hujjah (tentu saja ini tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang shahih dan ada yang dhaâif, dan tidak tertuju kepada teks ayat Al-Qurâan, karena
dalamajaran Islam dan kedudukannya dalam ajaran Islam. Manfaat dari makalah âKerangka Dasar Ajaran Islamâ, yaitu: a. Memahami dan mangkaji mengenai Aqidah, Syariâah, dan Akhlak dalam ajaran Islam; b. Merefleksikan pemahaman yang didapat dalam kehidupan sehari-hari; c. Memahami kekeliruan-kekeliruan menyangkut Aqidah, Syariâah, dan
IlmuUshul Fiqh tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Qurâan dan Sunnah. Dengan kata lain, Ushul Fiqh tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat.Masalah utama yang menjadi bagian Ushul Fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nash, dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah dan sahabat.. Pada masa
fVPFOB. ï»żIslam adalah Aqidah, Syariat dan Akhlaq. Ketiganya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan, satu sama lainnya saling terkait dan saling menyempurnakan. Ketiganya terhimpun dalam Ajaran Islam melalui dua ruang ilmu, yaitu USHULUDDIN dan FURUâUDDIN. Ushuluddin biasa disingkat USHUL, yaitu Ajaran Islam yang sangat PRINSIP dan MENDASAR, sehingga Umat Islam wajib sepakat dalam Ushul dan tidak boleh berbeda, karena perbedaan dalam Ushul adalah Penyimpangan yang mengantarkan kepada kesesatan. Sedang Furuâuddin biasa disingkat FURUâ, yaitu Ajaran Islam yang sangat penting namun TIDAK PRINSIP dan TIDAK MENDASAR, sehingga Umat Islam boleh berbeda dalam Furuâ, karena perbedaan dalam Furuâ bukan penyimpangan dan tidak mengantarkan kepada kesesatan, tapi dengan satu syarat yakni ADA DALIL YANG BISA DIPERTANGGUNG JAWABKAN SECARA SYARâI. Penyimpangan dalam Ushul tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan. Sedang Perbedaan dalam Furuâ wajib ditoleran dengan jiwa besar dan dada lapang serta sikap saling menghargai dan menghormati B. MENENTUKAN USHUL DAN FURUâ Cara menentukan suatu masalah masuk dalam USHUL atau FURUâ adalah dengan melihat Kekuatan Dalil dari segi WURUD Sanad Penyampaian dan DILALAH Fokus Penafsiran. WURUD terbagi dua, yaitu 1. Qothâi yakni Dalil yang Sanad Penyampaiannya MUTAWATIR. 2. Zhonni yakni Dalil yang Sanad Penyampaiannya TIDAK MUTAWATIR. Mutawatir ialah Sanad Penyampaian yang Perawinya berjumlah banyak di tiap tingkatan, sehingga MUSTAHIL mereka berdusta. DILALAH juga terbagi dua, yaitu 1. Qothâi yakni Dalil yang hanya mengandung SATU PENAFSIRAN. 2. Zhonni yakni Dalil yang mengandung MULTI PENAFSIRAN. Karenanya, Al-Qurâan dari segi Wurud semua ayatnya Qothâi, karena sampai kepada kita dengan jalan MUTAWATIR. Sedang dari segi Dilalah maka ada ayat yang Qothâi karena hanya satu penafsiran, dan ada pula ayat yang Zhonni karena multi penafsiran. Sementara As-Sunnah, dari segi Wurud, yang Mutawatir semuanya Qothâi, sedang yang tidak Mutawatir semuanya Zhonni. Ada pun dari segi Dilalah, maka ada yang Qothâi karena satu pemahaman dan ada pula yang Zhonni karena multi pemahaman. Selanjutnya, untuk menentukan klasifikasi suatu persoalan, apa masuk Ushul atau Furuâ, maka ketentuannya adalah 1. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Qothâi, maka ia pasti masalah USHUL. 2. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Zhonni, maka ia pasti masalah FURUâ. 3. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud Qothâi tapi Dilalahnya Zhonni, maka ia pasti masalah FURUâ. 4. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud Zhonni tapi Dilalahnya Qothâi, maka Ulama berbeda pendapat, sebagian mengkatagorikannya sebagai USHUL, sebagian lainnya mengkatagorikannya sebagai FURUâ. Dengan demikian, hanya pada klasifikasi pertama yang tidak boleh berbeda, sedang klasifikasi kedua, ketiga dan keempat, maka perbedaan tidak terhindarkan. Betul begitu ?! C. CONTOH USHUL DAN FURUâ 1. Dalam Aqidah Kebenaran peristiwa Isra Miâraj Rasulullah SAW adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTHâI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah apakah Rasulullah SAW mengalami Israâ Miâraj dengan Ruh dan Jasad atau dengan Ruh saja, maka masuk masalah FURUâ, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Karenanya, barangsiapa menolak kebenaran peristiwa Israâ Miâraj Rasulullah SAW maka ia telah sesat, karena menyimpang dari USHUL AQIDAH. Namun barangsiapa yang mengatakan Rasulullah SAW mengalami Israâ Miâraj dengan Ruh dan Jasad atau Ruh saja, maka selama memiliki Dalil Syarâi ia tidak sesat, karena masalah FURU AQIDAH. 2. Dalam Syariat Kewajiban Shalat 5 Waktu adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTHâI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah apakah boleh dijamaâ tanpa udzur, maka masuk masalah FURUâ, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Karenanya, barangsiapa menolak kewajiban Shalat Lima Waktu maka ia telah sesat karena menyimpang dari USHUL SYARIAT. Namun barangsiapa yang berpendapat bahwa boleh menjamaâ shalat tanpa âudzur atau sebaliknya, maka selama memiliki Dalil Syarâi ia tidak sesat, karena masalah FURU SYARIAT. 3. Dalam Akhlaq Berjabat tangan sesama muslim adalah sikap terpuji adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTHâI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah bolehkah jabat tangan setelah shalat berjamaâah, maka masuk masalah FURUâ, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Karenanya, barangsiapa menolak kesunnahan jabat tangan antar sesama muslim, maka ia telah sesat, karena menyimpang dari USHUL AKHLAQ. Namun barangsiapa yang berpendapat tidak boleh berjabat tangan setelah shalat berjamaâah atau sebaliknya, maka selama memiliki Dalil Syarâi ia tidak sesat, karena masalah FURUâ AKHLAQ. Inilah yang menjadi metolodogi yang disepakati oleh para salaf dan kalaf, guna menjadi panduan dalam bermanhaj. Allah al mustaâan..
Apakah Membagi Ilmu Islam Menjadi Usul dan Furu, Bid'ah? Apakah Membagi Ilmu Islam Menjadi Usul dan Furu, Bid'ah? Sun 11 November 2007 2228 Ushul Fiqih > Ijtihad views Pertanyaan Assalamu 'alaikumwr wb Ustad yang dirahmati oleh Alloh SWT Ana pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa membagi ilmu-ilmu Islam, seperti yang dijelaskan dalam bab Maqasit syari'ah adalah hal yang bid'ah, lalu kalau benar betapa sulitnya kita menentukan mana yang harus mendapat penekanan dan mana yang tidak perlu penekanan yang kuat, kalau jawabannya salah, maka apa ketentuan yang disepakati oleh ulama kita tentang mana yang furu dan mana yang usul, seperti contoh ibadah mahdoh seperti sholat adalah masuk katagori usul, tetapi untuk contoh, bagaimana persoalan kunut subuh belum selesai sampai saat ini. Mohon penjelasannya, dan atas perhatiannya saya ucapkan jazakumullohu khoiron katsiron. Jawaban Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Terkadang memang aneh-aneh dan ada-ada saja pendapat yang muncul di tengah dinamika umat. Kita harus memaklumi, semoga tujuannya mulia. Namun kalau boleh sedikit berkomentar, seharusnya kita tidak boleh terlalu apriori dengan perkembangan ilmu-ilmu keIslaman. Sebab kalau kita mau kembalikan semua ke zaman nabi, tentu semuanya akan menjadi bid'ah. Termasuk pembagian tauhid menjadi tauhid rububiyah, uluhiyah dan asma' wa sifat. Tidak ada satu pun hadits nabi yang menyebutkan ketiga macam tauhid itu. Dan kalau boleh meminjam logika di atas, pembagian tauhid menjadi tiga hal itu juga termasuk bid'ah. Sebab nabi SAW tidak pernah mengajarkannya. Demikian juga para shahabat dan salafusshalih. Ketiga istilah itu baru kita kenal sejak Muhammad bin Abdul Wahhab menulis kitab Tauhid. Dan beliau hidup di masa khalaf abad ke 18 M 1744 M. Apakah kita akan mengatakannya sebagai bid'ah yang sesat dan membuat siapa saja yang mempelajari tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai penghuni neraka? Rasanya kok tidak ya. Bahkan kalau kita mau jujur, istilah hadits shahih, hasan dan dhaif pun tidak pernah kita dengar di masa nabi masih hidup. Istilah itu baru kita kenal ratusan tahun kemudian setelah beliau SAW meninggal dunia. Para khalifah yang empat orang itu sama sekali tidak mengenal ilmu hadits dengan semua jenis istilah musthalah yang digunakan. Lantas, apakah kita akan mengatakan bahwa ilmu hadits dengan segala musthalahatnya adalah bid'ah? Apakah Syiekh Al-Albani itu juga sesat dan masuk neraka karena mengajarkan dan mengembangkan ilmu hadits yang di zaman nabi belum ada? Rasanya juga tidak kan? Dahulu sayyidina Umar radhiyallahu 'anhu pernah meminta kepada khalifah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu untuk menuliskan dan membukukan Al-Quran, sesuatu tidak pernah Rasulullah SAW perintahkan. Mungkin kalau orang yang anda ceritakan itu menjadi Abu Bakar, boleh jadi Umar sudah dikatakan ahli bid'ah. Tetapi seorang Abu Bakar bukan tipe orang yang pendek akal dan sempit ufuk wawasan. Beliau terbuka dalam banyak hal termasuk untuk membuat terobosan membukukan Al-Quran. Demikian juga dengan para shahabat lainnya, mereka punya dasar fiqih yang kuat. Buktinya, ketika Abu Bakar kemudian benar-benar menjalankan proyek penulisan dan pembukuan Al-Quran, kita tidak mendengar ada komentar dari satu shahabat yang menuding beliau sebagai ahli bid'ah. Rupanya para shahabat di zaman itu justru jauh lebih luas wawasannya dan bisa membedakan manaajaran Islamyang asasi dan fundamental yang tidak boleh berubahdan mana yang sifatnya teknis belaka sehingga menjadi sangat fleksibel. Maka ketika para fuqaha membuat dasar-dasar ushul fiqih serta metode istimbath hukum, dengan segala istilah dan metodologinya, kita juga tidak mungkin menuduhnya sebagai bid'ah sesat. Dan ketika kita membagi ajaran Islam menjadi ushul dan furu', juga tidak bisa disalahkan. Karena kenyataannya memang ada masalah yang fundamental dalam agama, yaitu wilayah aqidah mendasar. Di mana bila seseorang punya pandangan ushul yang keliru, bisa dikategorikan sebagai orang sesat. Sedangkan dalam masalah furu', perbedaan pendapat sangat dimungkinkan terjadi, lantaran tidak ada dalil yang sharih eksplisit dan disepakat oleh semua ulama. Wilayah itu menjadi wilayah ijtihad dan kebenaran menjadi tidak mutlak. Kita menyebut wilayah ini adalah wilayah furu', di mana kesalahan dalam berijtihad di dalamnya tidak akan membawa pelakunya ke dalam jurang kesesatan atau masuk neraka. Alangkah tidak adilnya Allah SWT kalau Dia memasukkan hamba-Nya ke neraka lewat jebakan-jebakan kecil yang tidak jelas dalilnya. Dan alangkah naifnya seseorang ketika mengklaim bahwa hanya hasil ijtihad dirinya saja yang paling sesuai dengan kemauan Allah SWT, sementara hasil ijtihad orang lain selalu dianggap salah, batil dan tidak sesuai dengan kemauan Allah. Wallahu 'alam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, LcBaca Lainnya Mengapa Indonesia Memusuhi Israel Tapi Berteman dengan Komunis? 11 November 2007, 0044 Negara > Arus politik viewsApakah Wali Songo Termasuk Generasi Salafussaleh? 9 November 2007, 0056 Umum > Sejarah viewsSepupu, Antara Wali Nikah dan Bukan Mahram? 8 November 2007, 2224 Pernikahan > Wali views10 Kriteria Aliran Sesat 8 November 2007, 0055 Aqidah > Aliran-aliran viewsBolehkah Ayat Alqur'an Dijadikan Ringtone? 8 November 2007, 0055 Al-Quran > Hukum viewsBertanya Lagi Tentang Hak Waris Ibu 6 November 2007, 2259 Mawaris > Hak waris viewsApakah Tabungan Perlu Dikeluarkan Zakatnya? 6 November 2007, 2219 Zakat > Zakat Uang Harta Emas viewsHadits Tidak Boleh Menikahi Sepupu, Shahihkah? 6 November 2007, 2211 Hadits > Status Hadits viewsAliran Aliran Sesat di Indonesia 6 November 2007, 0907 Aqidah > Aliran-aliran viewsMengapa Palestina Kelihatan Lemah? 6 November 2007, 0119 Negara > Polemik viewsTawar Menawar Kewajiban Shalat 5 Waktu 5 November 2007, 0012 Hadits > Status Hadits viewsIklan Berwisata ke Israel, Bolehkah? 4 November 2007, 2219 Negara > Hukum Islam viewsJumlah Ayat Quran Bukan 6666 Ayat? 4 November 2007, 0219 Al-Quran > Mushaf viewsMelangkahi Kakak Perempuan Menikah 2 November 2007, 2123 Pernikahan > Nikah berbagai keadaan viewsTentang Shalat Qobliyah Jumat 2 November 2007, 0042 Shalat > Shalat Jumat viewsMenukil Hadist Nabi Tanpa Perawi 1 November 2007, 2202 Hadits > Status Hadits viewsMajelis Dzikir, Bid'ahkah? 1 November 2007, 0845 Kontemporer > Bidah viewsBenarkah di Setiap Ayat Alquran Ada Khodam Jin? 1 November 2007, 0110 Al-Quran > Khazanah viewsPernikahan Rasulullah Saw dengan Aisyah Ra 31 October 2007, 0248 Pernikahan > Akad viewsMenikah Jarak Jauh 30 October 2007, 0120 Pernikahan > Nikah berbagai keadaan viewsTOTAL tanya-jawab 49,927,181 views
Perbedaan pendapat dalam agama pun merupakan sesuatu yang sangat biasa di dalam Islam dan tidak perlu dipusingkan, apalagi dijadikan permasalahan. Bila kita membaca sirah Rasulullah SAW, semasa hidupnya, tidak mengingkari adanya perbedaan para sahabat dalam memahami apa yang dikatakannya. Malahan, Rasulullah kerapkali membenarkan dua pendapat yang berbeda-beda, selama tidak bertentangan dengan dalam sebuah riwayat yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, terkait Rasulullah pernah mengutus beberapa orang sahabat berkunjung ke perkampungan Bani Quraizhah. Sebelum berangkat, Rasul berpesan, âKalian jangan shalat ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.â Singkat cerita, di tengah perjalanan, Para sahabat yg diutus tersebut terpecah kepada dua kelompok dalam memahami pesan Nabi ini. Ada yang memahami secara substansial atau kontekstual. Dan ada pula yang memahaminya secara literal dan tekstual. Dikarenakan tidak ada titik temu,kedua belah pihak akhirnya mengadu kepada Rasul. Setelah mendengar penjelasan mereka, Rasul membenarkan keduanya dan tidak menyalahkan salah saat ini, kita sering mendengar seseorang atau tokoh atau kelompok yang mengatasnamakan Islam, tapi kemudian mengkafirkan kelompok atau mazhab yang tidak sependapat dengan mereka. Setiap yang berbeda dengan mereka langsung divonis sesat, bidâah, kafir dan telah keluar dari ini mengklaim bahwa kebenaran hanya ada pada kelompok mereka. Mereka seringkali tidak mampu membedakan mana persoalan-persoalan yang bersifat ushul/pokok dalam agama, dan mana persoalan yang termasuk furuâ/cabang dalam agama persoalan yang bukan prinsip dasar dalam agama yang sifatnya ijtihadi serta masih boleh juga tidak mengenal adanya istilah ijtihad mustaqil, ijtihad muthlaq, ijtihad mazhabi, ijtihad parsial, ijtihad kolektif dan lain sebagainya. Mereka juga tidak paham mana saja batasan-batasan kulli dan juzâi, qathâi dan zhanni apakah itu Qathâiyyuts Tsubut dan Qathâiyyud Dalalah ataupun Zhanniyyuts Tsubut dan Dalalah baik dalam aspek akidah, fiqih, tasawwuf dan lain sebagainya. Padahal, Islam itu luas dan tidak sesempit yang mereka bagaimana seharusnya menyikapi persoalan-persoalan demikian? Tentunya kita harus mampu mengenal mana saja batasan-batasannya. Kita coba ambil contoh terkait batasan ushul dan furuâ ataupun qathâi dan zhanni dalam ranah akidah dan misalnya. Menurut Imam al-Ghazali, hanya ada tiga yang menjadi urusan ushul/pokok didalamnya. Apabila ada orang yang menentangnya maka seketika itu dapat menyebabkan dia keluar dari agama Islam. Tiga hal pokok/ushul itu adalah Iman kepada Allah, Iman kepada Rasul atau utusan-Nya, dan Iman kepada hari Hari dari itu masuk ke dalam kategori furuâ/cabangnya. Lalu bagaimana penentangan terhadap masalah akidah yang masuk dalam kategori furuâ/cabang? Menurutnya Imam al-Ghazali hanya menyebabkan penentangnya menjadi sesat melakukan bidâah, tidak sampai menjadi kafir atau keluar dari agama saja perkara yang termasuk furuâ dalam persoalan akidah? Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi pernah menjawab bahwa kategori yg termasuk farâi adalah masalah-masalah juzâi tentang keyakinan/akidah yang tidak mempunyai dalil qathâi. Misalnya, kebangkitan manusia untuk kedua kalinya, apakah setelah habis seluruhnya atau setelah bercerai-berai? Atau pembahasan terkait sifat âSamaâ dan Basharâ nya Allah. Apakah dua sifat itu berhubungan dengan semua hal yang wujud ataukah hanya berhubungan dengan sesuatu yang bisa didengar dan dilihat saja? Nah, persoalan-persoalan ini termasuk kategori furuâ dalam akidah yang masih bisa diperselisihkan. Dan masih banyak contoh teks pernyataan al-Imam al-Ghazali tadi bisa kita baca dalam karyanya, Faishalut-Tafriqah yang berbunyi Ketahuilah bahwa mengenai sesuatu yg dapat membuat kufur dan yang tidak, memerlukan penjelasan yg sangat panjang. Perlu juga utk menjelaskan setiap pendapat dan setiap mazhab. Perlu juga menjelaskan setiap syubhat/kerancuan dari masing-masing serta dasar-dasarnya baik dari segi zahir maupun takwilnya. Hal ini tdk cukup meski dg berjilid jilid kitab, dan waktuku juga tidak cukup utk oleh karena itu, kata beliau sekarang terimalah sebuah pesan dan satu ketentuan yang sangat penting yaituâTahan mulut agar jangan sampai mengkafirkan ahli kiblat/muslim dengan semampumu, selagi mereka masih mengatakan dan meyakini kalimat tauhid LA ILAHA ILLALLAH, MUHAMMADUN RASULULLAH dan mereka tidak mendustakan Rasulullah SAW. Sungguh, mengkafirkan sesama muslim itu sangatlah berbahaya, sementara diam dari itu tidaklah berbahaya.âTampaknya, pendapat al-Imam al-Ghazali ini dalam konteks mempersatukan umat Islam. Sehingga langkah untuk membangun kerjasama dan dialog antar-mazhab dan aliran akan lebih mudah. Dengan demikian, perpecahan yang mengancam ketentraman umat Islam bisa dihindari sedini mungkin. Dan beliau sangat mengerti akan bahaya dan dampak dari mengkafirkan sesama muslim, terlebih lagi menumpahkan darah sesama As-Subki pun pernah berkata, âSelagi seseorang meyakini dua kalimat syahadat, maka seketika itu dia sulit untuk dikafirkanâ. Selain itu, Imam Az-Zahabi dalam kitabnya Siyar A`lamin Nubalaâ menceritakan bahwa gurunya yang bernama Ibn Taimiyah pernah berkata di akhir hayatnya, âAku tidak mengkafirkan siapapun dari umat Islamâ.Adapun persoalan selanjutnya dalam ruang lingkup fikih, Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa pernah berkomentar, bahwa yang masih bisa dilakukan ijtihad adalah hukum syarâi yang tidak memiliki dasar pasti dalil qathâiy dan masih bersifat zhonni. Bila terjadi kesalahan ijtihad dalam hal ini maka tidaklah berdosa. Adapun kewajiban salat 5 waktu, puasa, kewajiban membayar zakat, naik haji, serta hal-hal yang sudah disepakati ummat, yang memiliki dalil Qathi, maka tidak boleh dilakukan ijtihad dan berdosa menentangnya. Beliau juga menegaskan tidak ada pengafiran sama sekali di dalam masalah furu`, kecuali satu masalah, yaitu mengingkari ajaran agama yang diketahui dari Rasulullah secara mutawatir ma `ulima fi al-din bi al-dharurah.Namun sangat disayangkan banyak yang gagal paham dalam memahami batasan-batasan qathâiy-zhanni dalam persoalan fikih ini. Sehingga tak jarang terjadi pertikaian di tengah masyarakat dengan âmengkambing-hitamkanâ mazhab fikih sebagai biang keladi penyebab perselisihan tersebut. Padahal, bagaimanapun banyaknya perbedaan pendapat dalam mazhab fikih sejak awal tumbuhnya sampai saat ini sejatinya hal itu tidak sampai menimbulkan perpecahan dan perkelahian di internal umat Islam. Justeru mazhab-mazhab ini muncul dari dasar tolong menolong terhadap fiqih, dan dari pengambilan yang disimpulkan dari dasar yang kokoh dan kira-kira beberapa contoh dalam melihat batasan-batasan dan perbedaan pendapat pada aspek akidah dan fiqih. Hal itu tentu membawa pesan tersirat kepada kita untuk lebih bijak dalam melihat segala sesuatunya serta tidak mudah cepat-cepat memvonis sesat atau kafir terhadap seseorang atau kelompok dan sebagainya. Jika dalam aspek akidah dan fiqih saja ada perkara ushul dan furu`, qathâiy dan zhanniy, apalagi dalam aspek tak perlu heran bila kemudian banyak terjadi ijtihad, perbedaan dan perkembangan metodologi, serta corak aliran dalam dunia sufi. Ada namanya tasawwuf amali, tasawwuf akhlaqi, tasawwuf falsafi, zauqiy dan sebagainya. Begitu pula dengan tarekat, ada banyak macam-macam tarekat di dunia setelah melalui proses taâsis, tajdid pembaharuan, bahkan jam`uth thuruq penggabungan dari beberapa tarekat shufiyyah yang dilakukan oleh sufi-sufi tertentu sepanjang karenanya, yang harus kita sadari adalah bahwa perbedaan-perbedaan dalam mazhab, aliran dan pemikiran itu tidak perlu disamakan menjadi satu format, satu bentuk dan sistem. Dalam kitab Al-Inshaaf fi Asbab al-Ikhtilaf diceritakan pernah ada kisah tentang Imam Malik bin Anas, pengarang kitab al-Muwaththaâ sekaligus guru dari Imam Syafii. Diceritakan bahwa penguasa waktu itu hendak menggantungkan kitab Al-Muwathtaâ tersebut di Kaâbah agar umat Islam dalam menentukan hukum dapat merujuk kepada satu rujukan saja, serta agar tidak terjadi perbedaan pendapaat di kalangan umat ketika apa sikap dan respon Imam Malik ketika itu? Ia justeru menolak rencana itu. Beliau menegaskan, âJangan !!! Karena para sahabat Rasulullah SAW pun berbeda pendapat dalam masalah furuâiyyah agama, sedangkan mereka telah tersebar di berbagai negaraâ. Nah, dalam hal ini Imam Malik bin Anas begitu menyadari bahwa perbedaan pendapat baik dalam hal menafsirkan, memahami, dan sebagainya adalah sebuah pendapat merupakan bentuk rahmat dari Allah. Makanya Ibn Abidin dalam kitabnya, Ad-Durrul Mukhtar mengatakan, âPerbedaan merupakan salah satu dari pengaruh rahmat. Semakin banyak ikhtilaf, maka semakin banyak pula rahmat yang didapatâ. Sebagaimana juga banyak riwayat-riwayat hadis Nabi yang mengatakan tentang Ibnu Taimiyah juga pernah menegaskan dalam kitabnya Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah. Apa kata beliau? âKita diperintahkan untuk adil dan objektif. Jika Yahudi atau Nasrani, apalagi Syiah Rafidhi mengucapkan sesuatu yang disitu terdapat sisi kebenarannya, maka kita tidak boleh menolak atau meninggalkan semua sisi kebenaran ituâ.Dan dalam kitabnya Majmuâ Fatawa, Imam Ibnu Taimiyah juga mengatakan bahwa, âBerpegang teguh pada persatuan dan saling mengasihi, merupakan pokok/ushul agama. Sedangkan masalah furuâ/cabang agama yang diperselisihkan adalah termasuk dari bagian-bagian masalah furuâ yang kecil. Maka bagaimana mungkin kita akan melalaikan yang pokok/ushul hanya karena menjaga masalah-masalah yang sifanya cabang/furuâ belaka?â.Oleh karena itu kita harus bijak dalam beragama. Harus mampu memilah dan memilih mana perkara yang sifatnya ushul dan mana yang furuâ yang tidak perlu diperdebatkan. Mana yang qathâi dan mana yang zhanni. Jangan terlalu mudah menyesatkan dan mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dan pemahaman dengan kita padahal dia masih saudara seiman dan masih dalam naungan kalimat tauhid yang SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Imam al-BukhariÙ
Ù Ű±Ù
Ù Ù
Ű€Ù
Ùۧ ŰšÙÙ۱ ÙÙÙ ÙÙŰȘÙÙâBarangsiapa yang menuduh kafir pada seorang mukmin, maka hal itu sama dengan membunuhnyaâ.Dalam hadis lain juga dikatakan sebagaimana riwayat al-Bukhari dan Muslimۄ۰ۧ ÙŰ§Ù Ű§ÙŰ±ŰŹÙ ÙŰŁŰźÙÙ Ùۧ ÙۧÙŰ±Ű ÙÙŰŻ ۚۧۥ ŰšÙۧ ŰŁŰŰŻÙÙ
ۧâJika seseorang berkata kepada saudaranya, âHai orang kafirâŠâ maka kekafiran itu sejatinya kembali pada salah satu dari keduanyaâ.Terakhir, ada pertanyaan yang berulang-ulang dipertanyakan tentang bagaimana seharusnya sikap kita dalam membangun dialog dengan non-Muslim atau orang-orang yang berbeda keyakinan dengan kita?Untuk menjawab hal ini agaknya perlu kembali mengingat sejarah atau Sirah Nabi Muhammad SAW. Dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu Katsir dikatakan Bahwasanya Rasulullah SAW tidak menutup pintu dialog dengan orang-orang musyrik, orang Yahudi maupun orang Nasrani. Bahkan, beliau pernah melakukan dialog dengan golongan-golongan ini di tengah-tengah masjid berdialog dengan beliau di dalam masjid tersebut, bahkan Nabi SAW pernah membiarkan orang-orang Nasrani melakukan ibadah di masjid beliau dan orang-orang musyrik pun pernah memasuki masjid di masa hidupnya. Disebutkan, tatkala utusan Nasrani Najran datang dan tibalah waktu salat Ashar, mereka pun melakukan ibadah ke arah Timur waktu itu, Nabi pun berkata kepada para Sahabat, âBiarkanlah merekaâ.Begitulah sikap Nabi SAW dalam membangun dialog dengan mereka yang berbeda keyakinan dengannya. Beliau tetap menghargai dan menghormati keyakinan orang lain dengan tetap mengedepankan dialog antar umat beragama. Ya, memang ada batasan-batasan yang diajarkan dalam Islam. Misalnya dalam persoalan akidah atau tauhid memang tidak perlu lagi diotak atik dan itu merupakan sebuah keniscayaan dalam beragama. Sebagaimana dalam al-Quran, âLakum dinukum wa liyadinâ. Bagimu agamamu, dan bagiku kita berbeda keyakinan dalam aspek akidah atau tauhid, tapi tentu hal itu tidak menghalangi kita kaum muslimin dengan umat agama lain dalam hal menjalin interaksi sosial, hubungan ekonomi, politik dan budaya sekalipun. Maka dalam hal ini, saling menghargai dan menghormati antar sesama dalam koridor kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara perlu dipertahankan. Dalam hal ini pula ada istilah ukhuwwah islamiyah, ukhuwwah wathaniyyah dan ukhuwwah basyariyyah. Persaudaraan sesama muslimin, persaudaraan sebangsa setanah air, dan persaudaraan sesama manusia.
ushul dan furu dalam aqidah